Jumat, 24 Agustus 2018

Mengasah Rasa Peduli dan Kepekaan Anak


Mengasah Rasa Peduli dan Kepekaan Anak
Oleh: Laela Siddiqah


Kondisi badan kurang fit dan adanya pikiran yang membuat perasaan super melow sungguh membutuhkan energi yang besar untuk tetap bermuka manis. Senyum terasa berat, badan terasa lunglai, air mata mendesak minta ditumpahkan. Pernah berada dalam situasi seperti itu bunda?!

Satu waktu saya mengalami. Masuk waktu maghrib, seusai ambil air wudlu, saya bersiap sholat berjamaah. Sambil menunggu suami, saya berdzkir. Tak terasa, air mata mengalir. Perlahan saya tutup muka dengan mukena, supaya tak terlihat oleh anak-anak. Apa daya, ternyata si bungsu sudah memperhatikan. Dengan sikap hati-hati, ia mendekati saya. Memegang pundak saya, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun diurungkan. Kemudian ia beranjak dan masuk ke dalam kamar.

Tak berapa lama ia kembali dan berkata, “Umi, ayo masuk ke kamar”.
“Kenapa?”, saya hanya membalas dengan nada yang datar.
“Aku rapikan kamarnya”, ungkapnya dengan wajah sumringah namun tetap ada raut kehati-hatian. Ia berusaha menghibur saya.
“Ohhh… makasih ya Dik,” kubelai kepalanya, kuberi ia senyuman.Tak terlalu gembira karena rasa sesak dalam dada masih cukup kuat. Pikiran saya sedang tersita oleh sebuah situasi yang tak terduga. Sesaat aku merasa mengabaikannya. Anakku yang tengah berusaha menarik perhatianku. Namun ia cukup terima dengan sikapku dan ada kesan ia mengkhawatirkanku.  

Air mata pun tak terbendung. Mengalir deras. Kuusap dengan mukena. Si kecil tetiba ada di depanku dan membawa tissue. Diusapnya airmata di pipiku. Tanpa mengatakan apapun, ia memelukku. Saya pun menyambut pelukannya dengan erat. Dan kubisikkan kepadanya, “Terimakasih ya Nak…”. Kesedihan yang kurasakan berbalut kebahagiaan atas sikap manis dan empatinya. Lelaki kecilku.

Untuk mengalihkan pikiran, saya bertanya kepadanya, “Siapa yang punya ide rapikan kamar?”
“Aku”, jawabnya singkat.
“Kenapa Adik mau rapikan kamar?”, tanyaku penasaran. Karena biasanya ia masih perlu disuruh untuk merapikan kamar dan mainannya yang berserak di setiap sudut ruang.
“Soalnya biar Ummi senang dan bahagia.  Nggak capek-capek”, tuturnya. Seketika hati ini serasa disiram air sejuk dari surga. Menyegarkan daun-daun kehidupan yang tertunduk lesu. Mengembangkan kembali bunga-bunga yang sempat layu. Menegakkan kembali tangkai-tangkai jiwa agar kokoh menopang raga.

Dalam situasi itu, saya merasa sangat bersyukur. Pembelajaran yang selama ini diajarkan mulai menjadi aksi nyata dalam kehidupannya. Mulai dari lingkar kehidupan terdekatnya, yaitu keluarga. Melalui tindakan-tindakan kecil yang sederhana. Mengasah kepekaan dan menunjukkan kepedulian, sehingga empati pun berkembang. Harapannya fitrah kasih sayang dalam dirinya tetap terjaga dan terus berkembang. Tidak hanya untuk orang-orang terdekatnya, tapi kelak juga bagi masyarakat luas, bahkan bangsa dan negara. Aamiin.

Bagaimana mengasah kepekaan dan kepedulian anak? Tentu saja diawali dengan keteladanan. Perlu dipahami bahwa setiap anak lahir dengan potensi baiknya, salah satunya kasih sayang. Orangtua bertugas memberi contoh sikap-sikap dan perilaku yang menunjukkan rasa sayang dalam kehidupan sehari-hari. Memeluk, mencium, membelai, adalah beberapa ekspresi rasa sayang. Termasuk kita pahami perasaan anak. Dapat juga memberikan pertolongan saat anak mengalami kesulitan. Tentu disesuaikan dengan kebutuhan. Jangan sampai justru kita mengambil alih tugas dan tanggung jawabnya sendiri.

Selanjutnya, tugas kita adalah mengingatkan. Namanya anak kan masih belajar. Dalam berbagai kesempatan, kita perlu memberikan pemahaman. Apa yang baik dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Melalui kejadian sehari-hari, kita dapat mengajak anak untuk terus melakukan sesuatu dengan cara yang baik dan benar. Misalnya perlunya menolong dan berbagi dengan orang lain. Bisa juga kita mengingatkan anak secara tidak langsung. Mengambil hikmah dari peristiwa nyata atau melalui buku cerita. Tentu saja, cara kita mengingatkan anak perlu diperhatikan, yaitu dengan kata-kata yang baik dan mudah dipahami.

Tugas berikutnya adalah memperbaiki. Saat anak melakukan sesuatu dengan cara yang salah, maka kita perlu membetulkannya. Perlu diketahui bahwa setiap perilaku anak pasti memiliki maksud yang baik, namun cara dia bertindak belum tepat. Jadi yang perlu dikoreksi adalah “caranya”. Hindari menghakimi anak dengan label negatif. Misalnya anak mentertawakan temannya yang jatuh. Jangan serta merta mengatakan anak kita nakal dan tidak sopan. Tanyakan alasan mengapa ia tertawa. Mungkin memang ada yang lucu baginya. Akomodasi pikiran dan perasaannya. Setelah itu, ajak anak melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana jika ia menjadi temannya. Arahkan anak untuk memikirkan apa yang dapat dilakukan untuk membantu temannya merasa lebih nyaman. Seperti halnya apa yang ia harapkan dari orang lain jika mengalami hal yang sama.

Nah, sekiranya kita perlu mengupayakan ketiga hal tersebut dalam keseharian kita bersama anak-anak. Karena membangun karakter baik yang kuat membutuhkan latihan yang tak sesaat. Berbekal kasih sayang dan kesabaran, juga kesesuaian dan konsistensi dalam bertindak, insyaAllah hasil yang baik dapat dicapai. Melatih dan mendidik anak sejatinya juga melatih dan mendidik diri sendiri.

Bontang, 24 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar