Mengasah Rasa Peduli dan Kepekaan Anak
Oleh: Laela Siddiqah
Kondisi badan kurang fit dan adanya pikiran yang membuat
perasaan super melow sungguh membutuhkan energi yang besar untuk tetap bermuka
manis. Senyum terasa berat, badan terasa lunglai, air mata mendesak minta
ditumpahkan. Pernah berada dalam situasi seperti itu bunda?!
Satu waktu saya mengalami. Masuk waktu maghrib, seusai ambil
air wudlu, saya bersiap sholat berjamaah. Sambil menunggu suami, saya berdzkir.
Tak terasa, air mata mengalir. Perlahan saya tutup muka dengan mukena, supaya tak
terlihat oleh anak-anak. Apa daya, ternyata si bungsu sudah memperhatikan.
Dengan sikap hati-hati, ia mendekati saya. Memegang pundak saya, seakan ingin
mengatakan sesuatu, namun diurungkan. Kemudian ia beranjak dan masuk ke dalam
kamar.
Tak berapa lama ia kembali dan berkata, “Umi, ayo masuk ke
kamar”.
“Kenapa?”, saya hanya membalas dengan nada yang datar.
“Aku rapikan kamarnya”, ungkapnya dengan wajah sumringah
namun tetap ada raut kehati-hatian. Ia berusaha menghibur saya.
“Ohhh… makasih ya Dik,” kubelai kepalanya, kuberi ia
senyuman.Tak terlalu gembira karena rasa sesak dalam dada masih cukup kuat.
Pikiran saya sedang tersita oleh sebuah situasi yang tak terduga. Sesaat aku merasa
mengabaikannya. Anakku yang tengah berusaha menarik perhatianku. Namun ia cukup
terima dengan sikapku dan ada kesan ia mengkhawatirkanku.
Air mata pun tak terbendung. Mengalir deras. Kuusap dengan
mukena. Si kecil tetiba ada di depanku dan membawa tissue. Diusapnya airmata di
pipiku. Tanpa mengatakan apapun, ia memelukku. Saya pun menyambut pelukannya
dengan erat. Dan kubisikkan kepadanya, “Terimakasih ya Nak…”. Kesedihan yang
kurasakan berbalut kebahagiaan atas sikap manis dan empatinya. Lelaki kecilku.
Untuk mengalihkan pikiran, saya bertanya kepadanya, “Siapa
yang punya ide rapikan kamar?”
“Aku”, jawabnya singkat.
“Kenapa Adik mau rapikan kamar?”, tanyaku penasaran. Karena
biasanya ia masih perlu disuruh untuk merapikan kamar dan mainannya yang
berserak di setiap sudut ruang.
“Soalnya biar Ummi senang dan bahagia. Nggak capek-capek”, tuturnya. Seketika hati
ini serasa disiram air sejuk dari surga. Menyegarkan daun-daun kehidupan yang tertunduk
lesu. Mengembangkan kembali bunga-bunga yang sempat layu. Menegakkan kembali
tangkai-tangkai jiwa agar kokoh menopang raga.
Dalam situasi itu, saya merasa sangat bersyukur. Pembelajaran
yang selama ini diajarkan mulai menjadi aksi nyata dalam kehidupannya. Mulai
dari lingkar kehidupan terdekatnya, yaitu keluarga. Melalui tindakan-tindakan
kecil yang sederhana. Mengasah kepekaan dan menunjukkan kepedulian, sehingga
empati pun berkembang. Harapannya fitrah kasih sayang dalam dirinya tetap
terjaga dan terus berkembang. Tidak hanya untuk orang-orang terdekatnya, tapi
kelak juga bagi masyarakat luas, bahkan bangsa dan negara. Aamiin.
Bagaimana mengasah kepekaan dan kepedulian anak? Tentu saja
diawali dengan keteladanan. Perlu
dipahami bahwa setiap anak lahir dengan potensi baiknya, salah satunya kasih
sayang. Orangtua bertugas memberi contoh sikap-sikap dan perilaku yang
menunjukkan rasa sayang dalam kehidupan sehari-hari. Memeluk, mencium,
membelai, adalah beberapa ekspresi rasa sayang. Termasuk kita pahami perasaan
anak. Dapat juga memberikan pertolongan saat anak mengalami kesulitan. Tentu
disesuaikan dengan kebutuhan. Jangan sampai justru kita mengambil alih tugas
dan tanggung jawabnya sendiri.
Selanjutnya, tugas kita adalah mengingatkan. Namanya anak kan masih belajar. Dalam berbagai
kesempatan, kita perlu memberikan pemahaman. Apa yang baik dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan. Melalui kejadian sehari-hari, kita dapat mengajak anak
untuk terus melakukan sesuatu dengan cara yang baik dan benar. Misalnya perlunya
menolong dan berbagi dengan orang lain. Bisa juga kita mengingatkan anak secara tidak
langsung. Mengambil hikmah dari peristiwa nyata atau melalui buku cerita. Tentu
saja, cara kita mengingatkan anak perlu diperhatikan, yaitu dengan kata-kata yang
baik dan mudah dipahami.
Tugas berikutnya adalah memperbaiki.
Saat anak melakukan sesuatu dengan cara yang salah, maka kita perlu
membetulkannya. Perlu diketahui bahwa setiap perilaku anak pasti memiliki
maksud yang baik, namun cara dia bertindak belum tepat. Jadi yang perlu
dikoreksi adalah “caranya”. Hindari menghakimi anak dengan label negatif.
Misalnya anak mentertawakan temannya yang jatuh. Jangan serta merta mengatakan
anak kita nakal dan tidak sopan. Tanyakan alasan mengapa ia tertawa. Mungkin
memang ada yang lucu baginya. Akomodasi pikiran dan perasaannya. Setelah itu,
ajak anak melihat dari sudut pandang yang berbeda. Bagaimana jika ia menjadi
temannya. Arahkan anak untuk memikirkan apa yang dapat dilakukan untuk membantu
temannya merasa lebih nyaman. Seperti halnya apa yang ia harapkan dari orang
lain jika mengalami hal yang sama.
Nah, sekiranya kita perlu mengupayakan ketiga hal tersebut
dalam keseharian kita bersama anak-anak. Karena membangun karakter baik yang
kuat membutuhkan latihan yang tak sesaat. Berbekal kasih sayang dan kesabaran,
juga kesesuaian dan konsistensi dalam bertindak, insyaAllah hasil yang baik
dapat dicapai. Melatih dan mendidik anak sejatinya juga melatih dan mendidik diri
sendiri.
Bontang, 24 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar