Kamis, 30 Agustus 2018

Ajari Anak Berani Berkata “Tidak”!

Ajari Anak Berani Berkata “Tidak”!
Oleh: Laela Siddiqah *)


Memiliki anak yang patuh merupakan dambaan setiap orang tua. Patuh pada aturan yang ditetapkan orang tua, patuh pada aturan di sekolah, dan patuh pada setiap aturan di lingkungan masyarakat. Terutama sekali adalah patuh pada peraturan hidup dari Tuhan Yang Maha Esa. Saya yakin, agama apapun mengajarkan hal baik, yang apabila dipatuhi akan memberikan kebaikan dalam kehidupan.

Kepatuhan anak semestinya muncul didasarkan pada kesadaran yang terbentuk pada diri anak. Kesadaran akan pentingnya suatu peraturan, mengapa perlu diikuti dan dijalankan. Anak pun memiliki alasan yang kuat dan melakukan hal-hal yang diharapkan dengan penuh tanggung jawab. Bukan kepatuhan karena perasaan takut dan sekedar ingin menghindari dari suatu hukuman.

Bercermin dari serangkaian kasus yang saya tangani, yaitu pelecehan seksual pada anak, ada sisi yang perlu menjadi evaluasi bagi kita sebagai orang tua. Berharap dari kasus yang ada, terdapat pembelajaran yang berarti dan selanjutnya dapat mencegah kejadian serupa di kemudian hari, dimanapun juga.

Berdasar pemeriksaan dan konseling dengan para korban, sebagian besar anak-anak yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan secara seksual ini tidak memiliki kemampuan untuk mencegah dan menolak perbuatan pelaku. Anak-anak yang menjadi korban seakan-akan tidak memiliki kekuatan untuk menghindar dan melakukan perlawanan. Mereka cenderung “menuruti” apa yang diinginkan pelaku. Meskipun sebenarnya mereka tahu hal itu tidak baik dan tidak menyukainya. Bahkan ada anak yang menjadi korban berulang kali selama kurun waktu yang lama, dan tidak pernah mengatakan kepada orang tuanya sampai akhirnya kasusnya terungkap.

Anak-anak yang menjadi korban adalah anak-anak yang baik. Berasal dari keluarga yang baik. Rata-rata, mereka adalah anak-anak yang patuh pada orang tua. Patuh dalam hal ini adalah jarang melawan dan cenderung mengikuti apa yang diperintahkan orang tua. Sebagian besar orang tua para korban pun menyatakan bahwa semestinya anak-anak mereka bisa menolak dan menghindar dari tindakan si pelaku. Seharusnya anak-anak bisa mengatakan “tidak” atas perbuatan si pelaku. Para orang tua menghendaki anaknya dapat melawan. Namun, nyatakan tidak demikian. Apa yang salah pada mereka??

Sebagai orang tua, kita pasti ingin anak-anak dapat melindungi dirinya dari perbuatan orang lain yang dapat menyakiti diri mereka. Terlebih saat ini lingkungan di sekitar kita begitu rentan, dan mulai bermunculan predator anak. Orang tua ingin anak mereka berani menolak dengan berkata “tidak”, menghindar, bahkan mungkin sampai melakukan perlawanan jika diperlukan. Pertanyaannya, benarkah orang tua sudah benar-benar mengajarkan kepada anak untuk berani berkata “tidak”? Jangan-jangan, tanpa disadari, orang tua telah melemahkan sisi “berani” anak atas dasar ingin memiliki anak yang patuh??

Keberanian merupakan salah satu karakter yang tumbuh dari hasil proses belajar. Keberanian muncul dari dalam diri seseorang yang memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat. Ayah, Bunda, coba diingat-ingat. Saat anak masih kecil, bagaimana sikap kita saat anak menolak permintaan orang tua? Apa yang kita lakukan saat anak menyampaikan keberatannya? Apa yang dikatakan saat anak berani mengatakan tidak suka?

Apakah kita menyediakan telinga untuk mendengarkan alasan mereka? Apakah kita menghargai sikap mereka? Atau tidak peduli akan perasaan dan pikiran anak kita? Kita hanya ingin anak menurut dan patuh. Bahkan ancaman pun menjadi andalan agar anak mengikuti kehendak kita sebagai orang tua. Dalam hal-hal yang tidak prinsip-pun kita cenderung ingin anak menuruti selera orang tua.

Jika demikian, bagaimana anak dapat menjadi dirinya sendiri dan punya kepercayaan diri? Darimana anak dapat menguatkan sisi keberanian mereka? Mungkin saja anak dapat menghafal apa yang perlu dilakukan jika ada yang mengganggu dan mengancamnya. Tetapi keberanian untuk bertindak tidak cukup hanya dari pengetahuan saja. Kekuatan dari dalam dirinya jauh dibutuhkan untuk dapat mempertahankan diri dan melakukan perlawanan yang diperlukan.

Jadi, keberanian anak bukan buah dari proses yang sesaat, apalagi dari hasil menasehati anak dalam semalam. Bibit baik keberanian sebenarnya sudah ada pada diri setiap anak. Seiring bertambahnya usia, anak belajar dari bagaimana lingkungan memperlakukannya. Apakah sisi berani anak diakomodasi dan diarahkan dengan benar oleh orang tua? Atau malah secara perlahan dilemahkan dan pada akhirnya tidak berfungsi secara optimal?!

Mari kita berkaca dan mengevaluasi bersama. Tumbuhkan kepatuhan anak secara tepat dan sehat. Kepatuhan hadir karena adanya pemahaman dan kesadaran, sekaligus dapat menguatkan keberanian dan kepercayaan diri anak. Bukan kepatuhan yang mengerdilkan dan melemahkan jiwa anak.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Dimampukan menjadi orang tua yang menguatkan dan mengembangkan fitrah baik anak. Menjadi insan yang bertakwa dan berakhlak mulia. Aamiin.


-----------------------------------------
*) Penulis adalah konselor P2TP2A di Kota Bontang yang menangani kasus-kasus kekerasan pada anak dan perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar