Senin, 29 Juli 2019

Kemandirian, Dasar Perlindungan Terhadap Anak


Kemandirian, Dasar Perlindungan Terhadap Anak
Oleh: Laela Siddiqah, M.Psi, Psikolog
(Psikolog Lembaga Psikologi Insan Cita Bontang, Kalimantan Timur)

Seminar Hari Anak Nasional Kota Bontang, 25 Juli 2019 di Auditorium Taman 3D. Foto koleksi pribadi.

Baru-baru ini kita memperingati Hari Anak Nasional yang puncaknya dirayakan di kota Makasar, Sulawesi Selatan pada tanggal 23 Juli 2019. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Yohana Susana Yembise, turut hadir sekaligus menyerahkan anugerah Kabupaten/Kota Layak Anak tahun 2019. Kota Bontang, kota dimasa saya tinggal, menjadi salah satu kota yang mendapat penghargaan Kota Layak Anak (KLA) kategori Madya. Tahun-tahun sebelumnya, kota Bontang sudah tiga kali meraih anugerah KLA kategori Pratama.
Secara nasional, pemerintah mengusung tema “Peran Keluarga Dalam Perlindungan Anak”. Sudah barang tentu ada hal serius yang melatarbelakangi mengapa perlindungan menjadi aspek yang ditekankan. Masih banyaknya kasus yang mengindikasikan lemahnya perlindungan keluarga terhadap anak, mulai dari perlakuan pengabaian, penelantaran, kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikologis, atau kekerasan seksual, hingga merebaknya kasus perdagangan anak.
Kasus terkini yang tengah saya dampingi menjadi salah satu gambaran kurangnya atau bahkan nihilnya perlindungan keluarga, terutama orang tua, kepada anak-anaknya. Bagaimana seorang ayah tega menyetubuhi anak perempuan tirinya dan menjadikannya pemuas nafsu birahi selama 4 tahun. Perlakuannya pun syarat dengan ancaman dan kekerasan fisik yang melukai gadis malang itu. Anak itu menjadi pribadi yang pendiam, tidak percaya diri, pencemas, dan sulit berkonsentrasi.
Dalam kasus yang berbeda, ada nasib anak-anak yang tergadaikan karena perlakuan kekerasan dari seorang ayah kepada keluarganya. Sejak kecil mereka menerima pukulan dan perlakuan kasar, juga kata-kata yang penuh hinaan, merendahkan, serba menyalahkan. Bahkan diperlakukan seakan-akan bukan anak manusia, seperti dimasukkan ke dalam bak air hingga nafas hampir terhenti. Di usianya yang beranjak remaja, ia memberontak, melawan, dan pergi meninggalkan rumah. Pergaulannya menyeret si belia merasakan minum minuman keras, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, hingga “menjual diri” untuk mendapatkan rupiah. Sungguh mengenaskan!
Menjadi tugas yang berat dan tidak sederhana bagi kita semua, terutama pemerintah, untuk benar-benar mewujudkan Indonesia Layak Anak – IDOLA – 2030. Namun, apakah hal itu suatu kemustahilan? Saya pikir tidak, jika kita semua mau bergerak untuk mulai melakukan hal-hal yang sederhana dan dari yang terdekat.

Awali dari Keluarga
Melindungi anak merupakan salah satu peran dan fungsi keluarga. Dua insan yang mengikat janji dalam perkawinan yang suci, menjadi suami dan istri, adalah awal terbentuknya sebuah keluarga. Hadirnya sang buah hati menjadi penambah kebahagiaan yang menuntut keduanya berperan sebagai orang tua. Sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban bagi orang tua untuk dapat mengasuh anak dengan baik, sehingga tumbuh kembangnya optimal. Pemahaman dan kesadaran setiap orang tua sangat dibutuhkan bahwa dalam mengasuh anak ada proses mendidik dan memotivasi. Orang tua menjadi teladan dan mengajarkan tuntunan sesuai nilai, keyakinan, dan kepercayaannya. Orang tua pun harus memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Memberikan perlindungan kepada anak bukan sebatas memberikan naungan fisik agar anak tidak terpapar panasnya matahari atau dinginnya angin malam. Bukan sekadar anak tidak terguyur hujan atau terbebas dari kelaparan. Kalau hanya itu, induk ayam pun mampu kan ya? Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demikian disebutkan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Latih Kemandirian Anak
Salah satu cara orang tua melindungi anaknya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi pribadi yang mandiri. Kemandirian anak tidak terbentuk secara tiba-tiba atau muncul dengan sendirinya setelah anak menuntaskan pendidikan dasar, menengah, atau tingginya. Kemandirian terbangun melalui pembiasaan dan latihan terus-menerus sepanjang usianya. Dimulai sedini mungkin, sejak anak mampu mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Ya, sedini mungkin.
“Apa tidak terlalu kecil anak dituntut untuk mandiri, kan kasihan?” tanya seorang ibu kepada saya, dengan dahi yang mengernyit tampak heran dan bingung. Perlu saya garis bawahi kembali, bahwa mencetak anak mandiri itu melalui proses pembiasaan dan l a t i h a n sepanjang usia, dimulai dari anak usia dini. Artinya, anak tidak langsung dituntut untuk mandiri dalam segala hal, tetapi dilatih dan dibiasakan untuk melakukan tugas-tugas mulai dari hal sederhana sejak anak itu masih kecil. Tentu saja, tugas dan aktivitas yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak di usianya. Masak iya anak 3 tahun sudah harus ceplok telur sendiri?? 
Misalnya, anak usia 2 tahun sudah waktunya belajar dan bisa makan-minum sendiri. Orang tua perlu melatih dan memberi kesempatan anak untuk melatih ketrampilan makannya. Meskipun awalnya belum sempurna dan masih berantakan, namun semakin sering ia melakukan, anak akan memiliki kemampuan yang mumpuni untuk makan dan minum secara mandiri. Demikian juga dalam ketrampilan lainnya, seperti memakai baju, memakai sepatu, dan menjaga kebersihan diri.


Selain itu, anak pun perlu dilatih untuk dapat mengatasi kesulitannya sendiri. Sebagai orang tua, seringkali kita mudah merasa kasihan, tidak tega, dan selalu ingin membantu anak kita. Terdorong oleh perasaan tersebut, orang tua seringkali menjadi “malaikat penolong” bagi anaknya bahkan disaat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Adakalanya anak perlu diberi ruang, kepercayaan, dan kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini akan mengasah kemampuan berpikir anak, merangsang kreativitas, dan kemampuannya untuk membuat keputusan. Kita sebagai orang tua hanya perlu memonitor, memberi dukungan, dan memberikan arahan jika diperlukan. Saat anak mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, maka ada rasa kebanggaan tersendiri yang dapat menguatkan keyakinan dirinya akan kemampuan yang dimiliki. So, don’t be helicopter parents!
Pencapaian ketrampilan dasar hidup di usia dini menjadi pondasi yang sangat penting pada pembentukan konsep diri dan karakter pribadi anak. Karakter yang terus terbawa hingga kelak menjadi dewasa. Anak yang dilatih untuk mandiri menunjukkan kepercayaan diri yang lebih tinggi dibanding anak yang selalu dilayani kebutuhannya. Anak yang terlatih kemandiriannya tumbuh menjadi pribadi yang lebih peduli dan mampu menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Anak yang mandiri lebih mudah bergembira dan merasa bahagia. Anak yang mandiri pun akan lebih mampu melindungi dirinya saat ada hal yang dapat menyakiti atau mengancam keselamatannya. Ia tahu apa yang perlu dilakukan dan mampu melindungi wilayah pribadinya.  
Anak merupakan karunia terindah dari Sang Pencipta. Menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua untuk memberikan bekal bagi setiap anaknya untuk menjadi manusia yang berkarakter kuat dan mulia. Pertanggungjawaban tidak sebatas pada ukuran dunia, namun hingga ke alam baka. Asah kemandirian anak untuk perlindungan sebatas hayat. Sebagaimana yang telah Allah SWT firmankan dalam QS An-Nisa’ ayat 9 yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
 Menjadi orang tua bukanlah profesi sesaat. Menjadi orang tua adalah amanah yang berbalas pahala berlipat saat kita dapat melakoninya dengan baik dan benar. Rasa bahagia pun menjadi imbalan tak terkira kala anak-anak menunjukkan kebisaannya. Bersama kita jaga dan lindungi anak-anak tercinta menjadi anak Indonesia yang sehat, mandiri, dan gembira. Kita gaungkan tagline Hari Anak Nasional 2019, “Kita Anak Indonesia, Kita Gembira!”.


Bontang, 30 Juli 2019
#MentoringMenulis
#PsikologMenulis