Kamis, 01 Agustus 2019

Kuatkan Kepak Sayap Anakmu (Melatih Kemandirian Anak Sejak Dini)


Kuatkan Kepak Sayap Anakmu 
(Melatih Kemandirian Anak Sejak Dini)
Oleh: Laela Siddiqah, M.Psi, Psikolog


ilustrasi: arrebatadosmag.com.br

Bu, kenapa ya anak saya masih belum bisa mandiri?”, tanya seorang ibu kepada saya. Di lain kesempatan ada yang mengeluhkan kebiasaan anaknya. “Duuh… anak itu bisanya nonton TV dan maiiiin gaaame saja, ga pernah mau bantuin di rumah, beresin kamarnya sendiri saja nggak becus! Capek saya bu mbilanginnya!”, ucap ibu tengah baya bernada kesal.

Pernah mendengar keluhan seperti itu? Atau memiliki situasi yang senada dengan hal diatas? Beberapa bulan terakhir, saya cukup banyak menerima konseling orang tua yang menghadapi kondisi yang tidak jauh berbeda. Bahkan hampir tiap bulan selama saya berpraktek profesi, ada saja yang persoalannya mirip-mirip demikian. Orang tua merasa anaknya tidak mampu melakukan tugasnya secara mandiri. Bahkan tidak ada kemauan untuk melakukan aktivitas rumah tangga untuk meringankan pekerjaan orang tua, terutama ibunya, di usianya yang beranjak remaja bahkan sudah masuk usia dewasa.
Diawali mendengarkan semua keluh kesah dan pemikiran orang tua tentang anak dan masalahnya, biasanya saya sekaligus menera bagaimana interaksi dan pola komunikasi di antara keduanya. Saya yakin kita semua sependapat bahwa kedua hal tersebut turut mempengaruhi kualitas hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. Kebiasaan apa saja yang dilakukan di rumah pun menjadi salah satu faktor pembentuk karakter, sikap, dan perilaku anak.
Setelah mencermati semua informasi dari orang tua tentang anaknya, yang seringkali hanya menggunakan sudut pandang diri mereka sebagai orang tua, saya pun mulai memberikan sejumlah pertanyaan untuk mengkonfirmasi. Di saat inilah, akan muncul ragam reaksi pada diri orang tua. Ada yang dengan mudah menyadari dan mengakui bahwa ternyata ada hal yang keliru dalam pengasuhannya selama ini. Berhadapan dengan orang tua tipe ini merupakan anugerah yang indah bagi seorang psikolog, khususnya diri saya, hehee J. Mereka akan terbuka dan bersedia untuk mengevaluasi perlakuan yang tidak membangun pribadi anaknya. Rata-rata mereka pun antusias untuk belajar dan berbenah diri.
Tidak jarang orang tua bersikap membela diri, selalu ada argumen saat dilakukan konfrontasi antara situasi dengan perlakuan yang ditunjukkan kepada anaknya. Selalu merasa benar dan sulit melihat dari sudut pandang lain, terutama dari kacamata anak. Anda dapat membayangkan bagaimana menghadapi orang dengan tipe demikian? Begituu menggemaskan serasa ingin nguyel-nguyel boneka. Jurus tarik ulur kesabaran dan taktik mengarahkan serta mempengaruhi pikiran akan dikeluarkan, ciaaaat…, #pasang kuda-kuda, hehehee. Meskipun tampak tidak mau kalah, seringkali “akhirnya” mereka pun bisa memahami. Karena pada dasarnya orang tua tipikal ini pintar dan kritis. Mereka hanya perlu waktu untuk dapat menerima hal yang berlawanan dengan egonya. Selain itu butuh keberanian untuk mengakui bahwa ada yang keliru pada perlakuan mereka terhadap anak-anaknya, yang membuat buah hatinya memiliki masalah.
Situasi akan menjadi kurang bersahabat saat orang tua bersikap acuh tak acuh, tidak peduli, dan hanya ingin anaknya “dibereskan” karena mereka sudah kewalahan. Mereka datang ke psikolog berasumsi bahwa si psikolog-lah yang akan “mbenerin” anaknya. Berasa layanan psikologi seperti jasa laundry. Masuk kotor, beberapa jam kemudian keluar sudah bersih dan wangiii. Ekspreeesss. Disaat seperti inilah saya ingin koproll tujuh ratus empat putaran.

Kembali ke bahasan utama ya, yaitu masalah yang dikeluhkan orang tua tentang anaknya yang tidak mandiri. Setelah dirunut dan dievaluasi, rata-rata para orang tua kurang memahami bahwa kemandirian itu hal yang perlu dilatih. Ketrampilan yang perlu dibiasakan dan diasah di setiap tahapan usia perkembangan anak. Orang tua kadangkala tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan kepada anaknya selama ini membuat anak tidak bisa menyelesaikan tugas pribadi dan pekerjaan rumah tangga, serta tidak trampil mengatasi masalahnya sendiri.
Atas dasar kasih sayang dan rasa cinta kepada anaknya, si ayah dan ibu selalu memberikan pelayanan prima kepada anak-anaknya sejak kecil. Memenuhi semua keinginan anak dan membantu menyelesaikan pekerjaan si kecil. Orang tua pun menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan dan membuat nyaman keseharian sang buah hati. Tentu bukan hal yang seratus persen salah saat kita berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Namuuuun, segala sesuatu yang diberikan ada takaran dan perlu pengendalian untuk membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Bagaimana jika di usianya yang sudah belasan tahun, anak tidak mampu melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci piring, mencuci baju hingga menyeterikanya? Anak tidak tahu bagaimana cara membuat masakan, meskipun yang sederhana. Anak tidak mengerti seperti apa dan dimana berbelanja keperluan rumah. Anak tidak berani untuk menyampaikan pesan orang tua kepada kerabat atau tetangganya. Anak tidak peka saat keadaan rumah perlu dibersihkan dan dirapikan, atau saat ada anggota keluarga yang membutuhkan pertolongan. Anak tidak memahami jika ada suatu persoalan yang perlu diselesaikan bahkan sampai pada taraf anak tidak mengerti jika dirinya “bermasalah” karena perilaku dan kebiasaannya.
Jika sudah demikian, maka anak akan lebih banyak bergantung pada orang lain. Ia menjadi tidak mampu berkontribusi dengan baik di dalam lingkungannya. Saat anak merasa ingin belajar dan berbuat sesuatu, kualitas kerjanya tidak sesuai dengan standar usianya karena ia tidak terbiasa bekerja. Lingkungan dapat dengan mudah menilai anak tidak mampu yang membuat anak merasa minder dan kurang berharga. Anak menjadi tidak percaya diri dan kurang tangguh dalam menghadapi kesulitan. Pada akhirnya anak tidak siap menghadapi tantangan dan kehidupan yang penuh persaingan.
Tentu kita sebagai orang tua tak ingin anak-anak berakhir menjadi pribadi yang bermasalah dan menyusahkan orang lain bukan? Naah, berikut 5 hal yang saya coba sarikan untuk dapat menjadi acuan memahami tugas dan peran para orang tua dalam membentuk kemandirian anak:

1.      Ajarkan Anak tentang Tanggung Jawab
Dimulai sejak anak masih kecil, kenalkan anak dengan tanggung jawab. Berikan tugas-tugas sederhana yang dapat anak lakukan di rumah. Misalnya di usia 2 tahun, anak sudah aktif mengeksplorasi lingkungannya dan bermain dengan berbagai benda di sekitarnya. Orang tua dapat mengajak anak membereskan mainan yang digunakan untuk disimpan kembali di tempatnya. Berikan contoh bagaimana cara melakukannya. Lakukan secara konsisten hingga anak menjadi terbiasa. Seiring bertambahnya usia anak, secara bertahap berikan ragam tugas dan aktivitas dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan tanggung jawab yang lebih luas.

2.      Biasakan dan Latih Anak untuk Berpikir, Memilih, dan Membuat Keputusan
Setiap manusia yang hidup pasti punya masalah. Tak terkecuali anak-anak, berapa pun usianya. Satu tahun pertama kehidupan anak, anak masih sangat bergantung pada orang tua dan belum dapat memilih sendiri apa yang dibutuhkan. Disaat anak sudah mulai berbicara dan mampu berkomunikasi, orang tua dapat mulai melatih anak untuk menggunakan pemikirannya dalam menghadapi suatu situasi. Hadapkan anak pada sejumlah pilihan dan dorong anak untuk menentukan mana yang dikehendakinya sesuai dengan kebutuhan dan pemahaman atas konsekuensi setiap pilihan. Caranya dengan lebih banyak menggunakan kalimat tanya, seperti bertanya kepada anak “Apa yang perlu dilakukan?” disaat kamarnya berantakan. Tawarkan bantuan sekira anak memerlukan, bukan langsung mengambil alih apa yang dikerjakan anak. Selanjutnya adalah ajak anak berdiskusi tentang apa yang sedang dihadapi. Di kesempatan lain, saya akan bahas poin ini lebih detil lagi.
  
3.      Berikan Anak Kepercayaan & Kesempatan
Untuk menguasai suatu ketrampilan, maka diperlukan latihan. Anak perlu diberi kepercayaan dan kesempatan untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri sejak dini. Contohnya saat anak usia 3-4 tahun, anak sudah mulai mencoba memakai baju, celana, dan sepatunya sendiri. Ijinkan anak terlibat dalam aktivitas tersebut. Berikan arahan dan contoh cara melakukannya. Jangan menuntut kesempurnaan dan selesai dalam waktu yang cepat. Meskipun terlihat sederhana, namun proses yang dilalui anak dalam melakukan aktivitas tersebut sungguh luar biasa. Banyak aspek perkembangan yang turut terasah. Saat anak berhasil, anak pun akan merasa senang dan bahagia. Keberhasilan anak melakukan hal-hal kecil dan sederhana menjadi pondasi untuk anak siap dengan tantangan tugas perkembangan selanjutnya. Ke depan anak pun akan siap melakukan sesuatu yang lebih besar, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain terutama orang tua dan keluarga.

4.      Kenalkan dan Arahkan Anak dengan Aturan
Aturan diperlukan untuk mencapai kehidupan yang tertib dan harmonis. Sejak kecil, anak perlu dibiasakan untuk hidup dengan aturan, baik aturan dalam agama yang diyakini, norma sosial, dan aturan hukum. Tentu saja, pembiasaan disesuaikan dengan usia dan pemahaman anak. Hal ini erat kaitannya dengan membentuk kedisiplinan pada anak. Anak perlu mengenali hal baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas, beserta alasannya. Orang tua perlu memberikan pemahaman bahwa setiap pilihan dan tindakan memiliki resiko dan konsekuensi. Anak pun diharapkan dapat bebas berekspresi dan melakukan apapun yang diinginkan namun tetap bertanggung jawab sesuai koridor aturan yang ditetapkan. Kepatuhan anak pada aturan, tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, namun juga untuk menjaga orang lain. Anak yang punya pemahaman yang baik pada aturan, ia pun cenderung menjadi lebih peduli kepada orang lain di sekitarnya.

5.      Hargai dan Terima Diri Anak Apa Adanya
Setiap anak ingin disayang dan diberi perhatian oleh orang tuanya. Setiap anak ingin diakui keberadaannya. Namun, adakalanya orang tua memiliki harapan yang tidak sesuai dengan kondisi anaknya. Ingatlah, bahwa setiap anak itu unik dan istimewa. Mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Tugas orang tua adalah menemukenali potensi unggulnya. Terima mereka apa adanya, tanpa syarat. Sejatinya, anak yang diterima dan dihargai akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Anak pun belajar menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain.

iIlustrasi: pixabay.com
Tidak ada kata terlambat untuk berbenah diri, terlebih untuk kebaikan masa depan anak-anak tercinta. Tipikal apapun Anda sebagai orang tua, lakukan perubahan perlakuan yang selama ini tidak memberdayakan anak sehingga kemandirian anak tidak tercipta. Siapkan otot-otot ketangguhan melalui latihan bertindak mandiri dalam kehidupan anak sehari-hari, mulai dari hal kecil dan sederhana. Lakukan secara terus-menerus dan konsisten hingga terbentuk kekuatan dalam diri anak. Hingga pada akhirnya ia siap mengepakkan sayap kuatnya untuk terbang tinggi, melejitkan setiap potensi.


Bontang, 01 Agustus 2019
#MentoringMenulis
#PsikologMenulis


Senin, 29 Juli 2019

Kemandirian, Dasar Perlindungan Terhadap Anak


Kemandirian, Dasar Perlindungan Terhadap Anak
Oleh: Laela Siddiqah, M.Psi, Psikolog
(Psikolog Lembaga Psikologi Insan Cita Bontang, Kalimantan Timur)

Seminar Hari Anak Nasional Kota Bontang, 25 Juli 2019 di Auditorium Taman 3D. Foto koleksi pribadi.

Baru-baru ini kita memperingati Hari Anak Nasional yang puncaknya dirayakan di kota Makasar, Sulawesi Selatan pada tanggal 23 Juli 2019. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Yohana Susana Yembise, turut hadir sekaligus menyerahkan anugerah Kabupaten/Kota Layak Anak tahun 2019. Kota Bontang, kota dimasa saya tinggal, menjadi salah satu kota yang mendapat penghargaan Kota Layak Anak (KLA) kategori Madya. Tahun-tahun sebelumnya, kota Bontang sudah tiga kali meraih anugerah KLA kategori Pratama.
Secara nasional, pemerintah mengusung tema “Peran Keluarga Dalam Perlindungan Anak”. Sudah barang tentu ada hal serius yang melatarbelakangi mengapa perlindungan menjadi aspek yang ditekankan. Masih banyaknya kasus yang mengindikasikan lemahnya perlindungan keluarga terhadap anak, mulai dari perlakuan pengabaian, penelantaran, kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikologis, atau kekerasan seksual, hingga merebaknya kasus perdagangan anak.
Kasus terkini yang tengah saya dampingi menjadi salah satu gambaran kurangnya atau bahkan nihilnya perlindungan keluarga, terutama orang tua, kepada anak-anaknya. Bagaimana seorang ayah tega menyetubuhi anak perempuan tirinya dan menjadikannya pemuas nafsu birahi selama 4 tahun. Perlakuannya pun syarat dengan ancaman dan kekerasan fisik yang melukai gadis malang itu. Anak itu menjadi pribadi yang pendiam, tidak percaya diri, pencemas, dan sulit berkonsentrasi.
Dalam kasus yang berbeda, ada nasib anak-anak yang tergadaikan karena perlakuan kekerasan dari seorang ayah kepada keluarganya. Sejak kecil mereka menerima pukulan dan perlakuan kasar, juga kata-kata yang penuh hinaan, merendahkan, serba menyalahkan. Bahkan diperlakukan seakan-akan bukan anak manusia, seperti dimasukkan ke dalam bak air hingga nafas hampir terhenti. Di usianya yang beranjak remaja, ia memberontak, melawan, dan pergi meninggalkan rumah. Pergaulannya menyeret si belia merasakan minum minuman keras, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, hingga “menjual diri” untuk mendapatkan rupiah. Sungguh mengenaskan!
Menjadi tugas yang berat dan tidak sederhana bagi kita semua, terutama pemerintah, untuk benar-benar mewujudkan Indonesia Layak Anak – IDOLA – 2030. Namun, apakah hal itu suatu kemustahilan? Saya pikir tidak, jika kita semua mau bergerak untuk mulai melakukan hal-hal yang sederhana dan dari yang terdekat.

Awali dari Keluarga
Melindungi anak merupakan salah satu peran dan fungsi keluarga. Dua insan yang mengikat janji dalam perkawinan yang suci, menjadi suami dan istri, adalah awal terbentuknya sebuah keluarga. Hadirnya sang buah hati menjadi penambah kebahagiaan yang menuntut keduanya berperan sebagai orang tua. Sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban bagi orang tua untuk dapat mengasuh anak dengan baik, sehingga tumbuh kembangnya optimal. Pemahaman dan kesadaran setiap orang tua sangat dibutuhkan bahwa dalam mengasuh anak ada proses mendidik dan memotivasi. Orang tua menjadi teladan dan mengajarkan tuntunan sesuai nilai, keyakinan, dan kepercayaannya. Orang tua pun harus memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Memberikan perlindungan kepada anak bukan sebatas memberikan naungan fisik agar anak tidak terpapar panasnya matahari atau dinginnya angin malam. Bukan sekadar anak tidak terguyur hujan atau terbebas dari kelaparan. Kalau hanya itu, induk ayam pun mampu kan ya? Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demikian disebutkan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Latih Kemandirian Anak
Salah satu cara orang tua melindungi anaknya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi pribadi yang mandiri. Kemandirian anak tidak terbentuk secara tiba-tiba atau muncul dengan sendirinya setelah anak menuntaskan pendidikan dasar, menengah, atau tingginya. Kemandirian terbangun melalui pembiasaan dan latihan terus-menerus sepanjang usianya. Dimulai sedini mungkin, sejak anak mampu mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Ya, sedini mungkin.
“Apa tidak terlalu kecil anak dituntut untuk mandiri, kan kasihan?” tanya seorang ibu kepada saya, dengan dahi yang mengernyit tampak heran dan bingung. Perlu saya garis bawahi kembali, bahwa mencetak anak mandiri itu melalui proses pembiasaan dan l a t i h a n sepanjang usia, dimulai dari anak usia dini. Artinya, anak tidak langsung dituntut untuk mandiri dalam segala hal, tetapi dilatih dan dibiasakan untuk melakukan tugas-tugas mulai dari hal sederhana sejak anak itu masih kecil. Tentu saja, tugas dan aktivitas yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak di usianya. Masak iya anak 3 tahun sudah harus ceplok telur sendiri?? 
Misalnya, anak usia 2 tahun sudah waktunya belajar dan bisa makan-minum sendiri. Orang tua perlu melatih dan memberi kesempatan anak untuk melatih ketrampilan makannya. Meskipun awalnya belum sempurna dan masih berantakan, namun semakin sering ia melakukan, anak akan memiliki kemampuan yang mumpuni untuk makan dan minum secara mandiri. Demikian juga dalam ketrampilan lainnya, seperti memakai baju, memakai sepatu, dan menjaga kebersihan diri.


Selain itu, anak pun perlu dilatih untuk dapat mengatasi kesulitannya sendiri. Sebagai orang tua, seringkali kita mudah merasa kasihan, tidak tega, dan selalu ingin membantu anak kita. Terdorong oleh perasaan tersebut, orang tua seringkali menjadi “malaikat penolong” bagi anaknya bahkan disaat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Adakalanya anak perlu diberi ruang, kepercayaan, dan kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini akan mengasah kemampuan berpikir anak, merangsang kreativitas, dan kemampuannya untuk membuat keputusan. Kita sebagai orang tua hanya perlu memonitor, memberi dukungan, dan memberikan arahan jika diperlukan. Saat anak mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, maka ada rasa kebanggaan tersendiri yang dapat menguatkan keyakinan dirinya akan kemampuan yang dimiliki. So, don’t be helicopter parents!
Pencapaian ketrampilan dasar hidup di usia dini menjadi pondasi yang sangat penting pada pembentukan konsep diri dan karakter pribadi anak. Karakter yang terus terbawa hingga kelak menjadi dewasa. Anak yang dilatih untuk mandiri menunjukkan kepercayaan diri yang lebih tinggi dibanding anak yang selalu dilayani kebutuhannya. Anak yang terlatih kemandiriannya tumbuh menjadi pribadi yang lebih peduli dan mampu menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Anak yang mandiri lebih mudah bergembira dan merasa bahagia. Anak yang mandiri pun akan lebih mampu melindungi dirinya saat ada hal yang dapat menyakiti atau mengancam keselamatannya. Ia tahu apa yang perlu dilakukan dan mampu melindungi wilayah pribadinya.  
Anak merupakan karunia terindah dari Sang Pencipta. Menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua untuk memberikan bekal bagi setiap anaknya untuk menjadi manusia yang berkarakter kuat dan mulia. Pertanggungjawaban tidak sebatas pada ukuran dunia, namun hingga ke alam baka. Asah kemandirian anak untuk perlindungan sebatas hayat. Sebagaimana yang telah Allah SWT firmankan dalam QS An-Nisa’ ayat 9 yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
 Menjadi orang tua bukanlah profesi sesaat. Menjadi orang tua adalah amanah yang berbalas pahala berlipat saat kita dapat melakoninya dengan baik dan benar. Rasa bahagia pun menjadi imbalan tak terkira kala anak-anak menunjukkan kebisaannya. Bersama kita jaga dan lindungi anak-anak tercinta menjadi anak Indonesia yang sehat, mandiri, dan gembira. Kita gaungkan tagline Hari Anak Nasional 2019, “Kita Anak Indonesia, Kita Gembira!”.


Bontang, 30 Juli 2019
#MentoringMenulis
#PsikologMenulis