Kuatkan
Kepak Sayap Anakmu
(Melatih Kemandirian Anak Sejak Dini)
(Melatih Kemandirian Anak Sejak Dini)
Oleh: Laela Siddiqah, M.Psi,
Psikolog
“Bu, kenapa ya anak saya masih belum bisa mandiri?”, tanya seorang ibu
kepada saya. Di lain kesempatan ada yang mengeluhkan kebiasaan anaknya. “Duuh… anak itu bisanya nonton TV dan maiiiin
gaaame saja, ga pernah mau bantuin di rumah, beresin kamarnya sendiri saja
nggak becus! Capek saya bu mbilanginnya!”, ucap ibu tengah baya bernada
kesal.
Pernah mendengar
keluhan seperti itu? Atau memiliki situasi yang senada dengan hal diatas? Beberapa
bulan terakhir, saya cukup banyak menerima konseling orang tua yang menghadapi
kondisi yang tidak jauh berbeda. Bahkan hampir tiap bulan selama saya
berpraktek profesi, ada saja yang persoalannya mirip-mirip demikian. Orang tua
merasa anaknya tidak mampu melakukan tugasnya secara mandiri. Bahkan tidak ada
kemauan untuk melakukan aktivitas rumah tangga untuk meringankan pekerjaan
orang tua, terutama ibunya, di usianya yang beranjak remaja bahkan sudah masuk
usia dewasa.
Diawali mendengarkan
semua keluh kesah dan pemikiran orang tua tentang anak dan masalahnya, biasanya
saya sekaligus menera bagaimana interaksi
dan pola komunikasi di antara
keduanya. Saya yakin kita semua sependapat bahwa kedua hal tersebut turut
mempengaruhi kualitas hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. Kebiasaan apa
saja yang dilakukan di rumah pun menjadi salah satu faktor pembentuk karakter,
sikap, dan perilaku anak.
Setelah mencermati
semua informasi dari orang tua tentang anaknya, yang seringkali hanya menggunakan sudut pandang diri
mereka sebagai orang tua, saya pun mulai memberikan sejumlah pertanyaan untuk
mengkonfirmasi. Di saat inilah, akan muncul ragam reaksi pada diri orang tua.
Ada yang dengan mudah menyadari dan mengakui bahwa ternyata ada hal yang keliru
dalam pengasuhannya selama ini. Berhadapan dengan orang tua tipe ini merupakan
anugerah yang indah bagi seorang psikolog, khususnya diri saya, hehee J. Mereka akan terbuka dan bersedia untuk mengevaluasi perlakuan yang tidak membangun
pribadi anaknya. Rata-rata mereka pun antusias untuk belajar dan berbenah diri.
Tidak jarang orang tua
bersikap membela diri, selalu ada argumen saat dilakukan konfrontasi antara situasi
dengan perlakuan yang ditunjukkan kepada anaknya. Selalu merasa benar dan sulit
melihat dari sudut pandang lain, terutama dari kacamata anak. Anda dapat
membayangkan bagaimana menghadapi orang dengan tipe demikian? Begituu
menggemaskan serasa ingin nguyel-nguyel
boneka. Jurus tarik ulur kesabaran dan taktik mengarahkan serta mempengaruhi
pikiran akan dikeluarkan, ciaaaat…, #pasang kuda-kuda, hehehee. Meskipun tampak
tidak mau kalah, seringkali “akhirnya” mereka pun bisa memahami. Karena pada
dasarnya orang tua tipikal ini pintar dan kritis. Mereka hanya perlu waktu
untuk dapat menerima hal yang berlawanan dengan egonya. Selain itu butuh keberanian
untuk mengakui bahwa ada yang keliru pada perlakuan mereka terhadap anak-anaknya,
yang membuat buah hatinya memiliki masalah.
Situasi akan menjadi
kurang bersahabat saat orang tua bersikap acuh tak acuh, tidak peduli, dan
hanya ingin anaknya “dibereskan” karena mereka sudah kewalahan. Mereka datang ke
psikolog berasumsi bahwa si psikolog-lah yang akan “mbenerin” anaknya. Berasa
layanan psikologi seperti jasa laundry. Masuk kotor, beberapa jam kemudian keluar sudah bersih dan
wangiii. Ekspreeesss. Disaat seperti inilah saya ingin koproll tujuh ratus
empat putaran.
Kembali ke bahasan
utama ya, yaitu masalah yang dikeluhkan orang tua tentang anaknya yang tidak
mandiri. Setelah dirunut dan dievaluasi, rata-rata para orang tua kurang
memahami bahwa kemandirian itu hal yang perlu dilatih. Ketrampilan yang perlu
dibiasakan dan diasah di setiap tahapan usia perkembangan anak. Orang tua kadangkala
tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan kepada anaknya selama ini membuat anak
tidak bisa menyelesaikan tugas pribadi dan pekerjaan rumah tangga, serta tidak
trampil mengatasi masalahnya sendiri.
Atas dasar kasih sayang
dan rasa cinta kepada anaknya, si ayah dan ibu selalu memberikan pelayanan
prima kepada anak-anaknya sejak kecil. Memenuhi semua keinginan anak dan
membantu menyelesaikan pekerjaan si kecil. Orang tua pun menyediakan berbagai fasilitas
yang memudahkan dan membuat nyaman keseharian sang buah hati. Tentu bukan hal
yang seratus persen salah saat kita berusaha memberikan yang terbaik untuk
anak-anak kita. Namuuuun, segala sesuatu yang diberikan ada takaran dan perlu
pengendalian untuk membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Bagaimana jika di usianya
yang sudah belasan tahun, anak tidak mampu melakukan pekerjaan rumah seperti
menyapu, mencuci piring, mencuci baju hingga menyeterikanya? Anak tidak tahu
bagaimana cara membuat masakan, meskipun yang sederhana. Anak tidak mengerti
seperti apa dan dimana berbelanja keperluan rumah. Anak tidak berani untuk
menyampaikan pesan orang tua kepada kerabat atau tetangganya. Anak tidak peka
saat keadaan rumah perlu dibersihkan dan dirapikan, atau saat ada anggota
keluarga yang membutuhkan pertolongan. Anak tidak memahami jika ada suatu persoalan
yang perlu diselesaikan bahkan sampai pada taraf anak tidak mengerti jika
dirinya “bermasalah” karena perilaku dan kebiasaannya.
Jika sudah demikian,
maka anak akan lebih banyak bergantung pada orang lain. Ia menjadi tidak mampu
berkontribusi dengan baik di dalam lingkungannya. Saat anak merasa ingin belajar
dan berbuat sesuatu, kualitas kerjanya tidak sesuai dengan standar usianya
karena ia tidak terbiasa bekerja. Lingkungan dapat dengan mudah menilai anak
tidak mampu yang membuat anak merasa minder dan kurang berharga. Anak menjadi tidak
percaya diri dan kurang tangguh dalam menghadapi kesulitan. Pada akhirnya anak
tidak siap menghadapi tantangan dan kehidupan yang penuh persaingan.
Tentu kita sebagai
orang tua tak ingin anak-anak berakhir menjadi pribadi yang bermasalah dan menyusahkan
orang lain bukan? Naah, berikut 5 hal yang saya coba sarikan untuk dapat
menjadi acuan memahami tugas dan peran para orang tua dalam membentuk
kemandirian anak:
1.
Ajarkan
Anak tentang Tanggung Jawab
Dimulai
sejak anak masih kecil, kenalkan anak dengan tanggung jawab. Berikan
tugas-tugas sederhana yang dapat anak lakukan di rumah. Misalnya di usia 2
tahun, anak sudah aktif mengeksplorasi lingkungannya dan bermain dengan
berbagai benda di sekitarnya. Orang tua dapat mengajak anak membereskan mainan
yang digunakan untuk disimpan kembali di tempatnya. Berikan contoh bagaimana
cara melakukannya. Lakukan secara konsisten hingga anak menjadi terbiasa.
Seiring bertambahnya usia anak, secara bertahap berikan ragam tugas dan aktivitas
dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan tanggung jawab yang lebih luas.
2.
Biasakan
dan Latih Anak untuk Berpikir, Memilih,
dan Membuat Keputusan
Setiap
manusia yang hidup pasti punya masalah. Tak terkecuali anak-anak, berapa pun
usianya. Satu tahun pertama kehidupan anak, anak masih sangat bergantung pada
orang tua dan belum dapat memilih sendiri apa yang dibutuhkan. Disaat anak
sudah mulai berbicara dan mampu berkomunikasi, orang tua dapat mulai melatih
anak untuk menggunakan pemikirannya dalam menghadapi suatu situasi. Hadapkan
anak pada sejumlah pilihan dan dorong anak untuk menentukan mana yang
dikehendakinya sesuai dengan kebutuhan dan pemahaman atas konsekuensi setiap
pilihan. Caranya dengan lebih banyak menggunakan kalimat tanya, seperti bertanya
kepada anak “Apa yang perlu dilakukan?”
disaat kamarnya berantakan. Tawarkan bantuan sekira anak memerlukan, bukan
langsung mengambil alih apa yang dikerjakan anak. Selanjutnya adalah ajak anak
berdiskusi tentang apa yang sedang dihadapi. Di kesempatan lain, saya akan bahas
poin ini lebih detil lagi.
3.
Berikan
Anak Kepercayaan & Kesempatan
Untuk menguasai suatu ketrampilan, maka diperlukan
latihan. Anak perlu diberi kepercayaan dan kesempatan untuk melakukan sesuatu
untuk dirinya sendiri sejak dini. Contohnya saat anak usia 3-4 tahun, anak
sudah mulai mencoba memakai baju, celana, dan sepatunya sendiri. Ijinkan anak terlibat
dalam aktivitas tersebut. Berikan arahan dan contoh cara melakukannya. Jangan
menuntut kesempurnaan dan selesai dalam waktu yang cepat. Meskipun terlihat
sederhana, namun proses yang dilalui anak dalam melakukan aktivitas tersebut sungguh
luar biasa. Banyak aspek perkembangan yang turut terasah. Saat anak berhasil, anak
pun akan merasa senang dan bahagia. Keberhasilan anak melakukan hal-hal kecil
dan sederhana menjadi pondasi untuk anak siap dengan tantangan tugas
perkembangan selanjutnya. Ke depan anak pun akan siap melakukan sesuatu yang
lebih besar, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain
terutama orang tua dan keluarga.
4.
Kenalkan dan Arahkan Anak dengan Aturan
Aturan diperlukan untuk mencapai kehidupan yang tertib
dan harmonis. Sejak kecil, anak perlu dibiasakan untuk hidup dengan aturan,
baik aturan dalam agama yang diyakini, norma sosial, dan aturan hukum. Tentu
saja, pembiasaan disesuaikan dengan usia dan pemahaman anak. Hal ini erat
kaitannya dengan membentuk kedisiplinan pada anak. Anak perlu mengenali hal
baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas, beserta alasannya. Orang
tua perlu memberikan pemahaman bahwa setiap pilihan dan tindakan memiliki
resiko dan konsekuensi. Anak pun diharapkan dapat bebas berekspresi dan
melakukan apapun yang diinginkan namun tetap bertanggung jawab sesuai koridor
aturan yang ditetapkan. Kepatuhan anak pada aturan, tidak hanya untuk melindungi
diri sendiri, namun juga untuk menjaga orang lain. Anak yang punya pemahaman
yang baik pada aturan, ia pun cenderung menjadi lebih peduli kepada orang lain
di sekitarnya.
5.
Hargai dan Terima Diri Anak Apa
Adanya
Setiap
anak ingin disayang dan diberi perhatian oleh orang tuanya. Setiap anak ingin
diakui keberadaannya. Namun, adakalanya orang tua memiliki harapan yang tidak sesuai
dengan kondisi anaknya. Ingatlah, bahwa setiap anak itu unik dan istimewa. Mereka
memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Tugas orang tua adalah menemukenali
potensi unggulnya. Terima mereka apa adanya, tanpa syarat. Sejatinya, anak yang
diterima dan dihargai akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Anak pun
belajar menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain.
![]() |
iIlustrasi: pixabay.com |
Bontang, 01
Agustus 2019
#MentoringMenulis
#PsikologMenulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar