Cerita ini terinspirasi dari klien di Klinik Tumbuh Kembang Anak.
----------
Kamis
yang hangat. Sedari pagi matahari pancarkan sinarnya. Memaksa penghuni alam
menggeliat. Regangkan badan dan bergerak. Usir kemalasan yang mengikat agar tak
menjadi sahabat.
Setelah
menjalani kesibukan ritual di pagi hari, tiba saatnya untuk memenuhi kewajiban
jadwal terapi. Menjelang siang kupacu kuda besi menuju klinik. Sampai di
selasar, kulihat orangtua klien sudah ada. Ooh…berarti anaknya sudah ada di
dalam, batinku. Aku menyapa sekedarnya untuk segera memasuki ruangan. Namun
tampaknya si ibu ingin mengatakan sesuatu. Aku pun sesaat menghentikan
langkahku.
“Hari
ini Bima tidak masuk sekolah bu, tapi nggak mau libur terapinya”
“Oooh…
begitu?! Kenapa?” rasa penasaran membungkus senyumku.
“Kakinya
kena paku kemarin siang di sekolah”
“Ooohh…”
hanya itu yang keluar dari mulut menyertai ekspresi kagetku.
“Iya
bu… dia bilang ini kan hari kamis, aku mau ketemu bu Ela. Aku mau tetap terapi”
jelas ibunya dengan wajah yang terukir senyuman.
Seketika
aku merasa senang. Hatiku tersenyum mengembang. Ternyata pertemuan denganku
dinantikan. Pikiranku pun tampak mulai menganalisa, merancang skenario
penanganan. Iyes, tahapan pendekatan berjalan dengan baik. Saatnya masuk ke
sesi penanganan.
“Waah…
berarti Bima bersemangat ya hari ini. Baik bu, terimakasih informasinya” aku
akhiri percakapan, agar jam terapi tidak banyak berkurang.
------
“Hai
Bima, assalamu’alaikum…” sapaku.
Bocah
itu hanya tersenyum-senyum simpul. Kuletakkan tas dan duduk di kursi yang
berjarak meja dengan tempat duduknya.
“Ooh…
kenapa kakimu?” Kaki kirinya terlihat dibungkus perban warna putih.
“Kena
paku” jawabnya yang kemudian diikuti celotehan ceritanya yang penuh dengan
ekspresi. Bahwa ia terkena paku yang tertancap di kayu, di area sekolahnya yang
sedang dibangun. Dibawa ke rumah sakit oleh ustad-nya. Dibersihkan, disuntik,
dan diperban. Terasa ikut ngilu waktu mendengarnya.
“Sakit
ya?” tanyaku mengetesnya.
“Ya
iyalaaah…. Namanya kena paku!” protesnya. Kutahan tawaku melihat ekspresinya
yang lucu.
“Kamu
menangis?” tanyaku lagi sedikit penasaran.
“Heem…”
dengan suara lirih dan anggukan, disertai lirikan sekejap yang berakhir dengan
menundukkan kepala.
“Ohhh…
nggak apa-apa menangis, kan memang sakit kena paku. Apalagi kemudian disuntik. Itu
dilakukan supaya tidak terjadi infeksi. Kalau bu ela jadi kamu pasti juga
menangis. Semoga lekas sembuh ya. Bisa lari-lari lagi”. Tampak senyum simpul
tersungging di wajahnya.
Jangan
dibayangkan perbincangan ini berlangsung mulus dengan anak yang duduk manis dan
tenang. Badannya selalu bergerak. Mengubah posisi duduk, mengangkat kaki,
sesekali berdiri. Tangannya sibuk mengelus-elus kakiyang yang diperban. Matanya
pun tak bertahan lama untuk menatap kedepan, melihat orang yang sedang
mengajaknya bicara. Ini sedang dalam kondisi kakinya sakit. Bayangkan saat
kedua kakinya lincah bergerak. Anteng kitiran tenan J
Namun,
di pertemuan ke tujuh ini, ia terlihat nyaman. Ia pun bersedia melakukan apa
yang saya tugaskan. Sebelumnya ia selalu berusaha mengalihkan perhatian dengan
bertanya atau menyampaikan berbagai alasan. Duuh, capek aku. Mataku sakit eh. Kayak
apa ini? Malesnya… dan sebagainya. Aku pun tak akan melanjutkan aktivitas,
karena sekedar ingin melihat respon dan kemampuannya. Misiku adalah masuk ke
dalam dunianya. Karena ia anak yang sempat terluka batinnya. Kuijinkan anak itu
melepaskan terlebih dahulu emosi-emosi negatifnya.
Selanjutnya
ia pun akan bercerita berbagai adegan-adegan yang heroik. Tema binatang adalah
favoritnya. Disertai gerakan badan, tangan, dan mimik muka yang mendukung
cerita. Ia sangat imajinatif. Kadangkala aku pun tak habis pikir dengan
lompatan ide dan pikiran kartunnya. Pikiran kartun?? Iya, seperti halnya film
kartun, skenarionya kan terserah gimana yang bikin cerita. Meskipun seringkali
nggak masuk akal. Bagi saya. Belum tentu bagi yang lainnya, termasuk anda. Hahahaha….
Aku
hanya mendengarkan. Sesekali bertanya. Menimpali, juga meminta penjelasan. Ia
pun akan bersemangat menjelaskan dengan penuh keyakinan. Ada kalanya ia tak
berminat untuk menerangkannya. Ia hanya butuh didengarkan. Diterima dan
dihargai. Apa adanya.
Jangan
berpikir ia bercerita dengan alur yang runtut dan pengucapan kalimat yang
jelas. Kadang ia hanya tampak seperti bicara pada diri sendiri. Bergumam.
Kecepatan bicaranya pun kadang membuatku sulit menangkap apa yang diucapkan. Bisa
dibayangkan? Saya berasa mendengarkan suara penyiar radio yang tidak pas posisi
frekuensinya.
Dibandingkan
dengan anak seusianya, kemampuan yang berkaitan dengan akademis memang belum mumpuni.
Ia sering salah membaca kata. Mudah melompati kata dalam kalimat yang dibaca.
Menyusun puzzle sederhana juga cukup membutuhkan waktu untuk menyelesaikannya.
Menulis baginya suatu hal yang menyebalkan. Butuh perjuangan. Ya, koordinasi
visual-motoriknya belum matang. Ia memiliki indikasi gejala disleksia.
------
Ia
bermasalah dengan sekolah sebelumnya. Ia dinilai tak mampu mengikuti pelajaran.
Perlakuan yang mengancam bahkan menyakiti fisiknya pernah didapatkan. Anak yang
tenang berubah menjadi siswa yang garang. Anak yang penurut dan penakut berubah
menjadi siswa yang melawan dan senang menantang. Hatinya terluka, hingga
membuatnya memilih sakit daripada masuk ke sekolah. Pernah pula ia meminta
pinjam kepala ayahnya untuk dipakai ke sekolah. Karena ia merasa bodoh dan tak
berdaya. Miris aku mendengarnya.
Awal-awal
pertemuan, cukup banyak kata-kata bernada kekerasan keluar dari mulutnya.
Tatapan matanya pun tidak bersahabat. Tak sesuai dengan usianya yang masih 8
tahun. Surut keceriaan khas anak-anak. Sedih sekali rasanya.
Gurunya
tak mampu memahaminya. Lebih tepatnya tidak bersedia berusaha untuk mengenali
karakteristiknya. Fokusnya hanya ia harus memenuhi nilai standar akademisnya.
Ggggggrrrrh….. Sekolah pun tak memiliki kebijakan yang memihak tumbuh-kembang anak
dengan keunikannya. Aku sampai merasa geram tingkat dewa. Tapi, apalah daya.
Aku tak ada kuasa untuk mengubahnya.
Akhirnya,
orang tuanya pun memutuskan untuk memindahkan sekolah, setelah melakukan
konseling di awal pertemuan. Tentunya setelah memikirkan sejumlah pertimbangan
dan survey sejumlah sekolah pilihan.
-------
Pada
pertemuan kali ini ia mau melakukan beberapa latihan. Baru untuk pemanasan.
Pengenalan melakukan suatu gerakan untuk meningkatkan koordinasi
visual-motoriknya. Ia pun berinisiatif menyelesaikan sejumlah aktivitas yang
memerlukan konsentrasi dan perhatian. Suatu perkembangan positif, meskipun
durasinya masih cukup pendek.
Wajahnya
pun sudah lebih rileks. Sudah jarang terdengar kata-kata horor dari mulutnya. Ia
terlihat lebih senang. Ia pun tak ragu untuk tertawa saat ada hal yang dirasa
menggelikan.
Perjalanan
masih panjang. Bagaimana mengembalikan dan menguatkan harga dirinya.
Menumbuhkembangkan kepercayaan diri. Memperbaiki kesan negatif tentang sekolah
dan aktivitas belajar. Selanjutnya melatih untuk melakukan aktivitas membaca
dengan baik.
Bukan
tanpa alasan aku dipertemukan dengan Bima. Pasti Tuhan sudah menghendaki. Tentu
saja Bima bukan nama anak sebenarnya. Kehadirannya memberikan warna tersendiri
dalam episode hidupku saat ini. Keterlibatan orang tuanya dalam setiap proses
terapi dan penanganan pada putranya pun memberikan inspirasi. Keterbukaan dan
kesediaan orang tua untuk turut belajar dan mau mendengar “suara” anaknya
sangatlah berarti. Semoga satu langkah terestui untuk menyelamatkan satu anak
negeri.
Bontang, 25
Januari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar