Jumat, 24 Agustus 2018

Bima & Disleksia


Cerita ini terinspirasi dari klien di Klinik Tumbuh Kembang Anak.
----------

Kamis yang hangat. Sedari pagi matahari pancarkan sinarnya. Memaksa penghuni alam menggeliat. Regangkan badan dan bergerak. Usir kemalasan yang mengikat agar tak menjadi sahabat.

Setelah menjalani kesibukan ritual di pagi hari, tiba saatnya untuk memenuhi kewajiban jadwal terapi. Menjelang siang kupacu kuda besi menuju klinik. Sampai di selasar, kulihat orangtua klien sudah ada. Ooh…berarti anaknya sudah ada di dalam, batinku. Aku menyapa sekedarnya untuk segera memasuki ruangan. Namun tampaknya si ibu ingin mengatakan sesuatu. Aku pun sesaat menghentikan langkahku.

“Hari ini Bima tidak masuk sekolah bu, tapi nggak mau libur terapinya”
“Oooh… begitu?! Kenapa?” rasa penasaran membungkus senyumku.

“Kakinya kena paku kemarin siang di sekolah”
“Ooohh…” hanya itu yang keluar dari mulut menyertai ekspresi kagetku.

“Iya bu… dia bilang ini kan hari kamis, aku mau ketemu bu Ela. Aku mau tetap terapi” jelas ibunya dengan wajah yang terukir senyuman.

Seketika aku merasa senang. Hatiku tersenyum mengembang. Ternyata pertemuan denganku dinantikan. Pikiranku pun tampak mulai menganalisa, merancang skenario penanganan. Iyes, tahapan pendekatan berjalan dengan baik. Saatnya masuk ke sesi penanganan.

“Waah… berarti Bima bersemangat ya hari ini. Baik bu, terimakasih informasinya” aku akhiri percakapan, agar jam terapi tidak banyak berkurang.

------

“Hai Bima, assalamu’alaikum…” sapaku.
Bocah itu hanya tersenyum-senyum simpul. Kuletakkan tas dan duduk di kursi yang berjarak meja dengan tempat duduknya.

“Ooh… kenapa kakimu?” Kaki kirinya terlihat dibungkus perban warna putih.

“Kena paku” jawabnya yang kemudian diikuti celotehan ceritanya yang penuh dengan ekspresi. Bahwa ia terkena paku yang tertancap di kayu, di area sekolahnya yang sedang dibangun. Dibawa ke rumah sakit oleh ustad-nya. Dibersihkan, disuntik, dan diperban. Terasa ikut ngilu waktu mendengarnya.

“Sakit ya?” tanyaku mengetesnya.

“Ya iyalaaah…. Namanya kena paku!” protesnya. Kutahan tawaku melihat ekspresinya yang lucu.

“Kamu menangis?” tanyaku lagi sedikit penasaran.

“Heem…” dengan suara lirih dan anggukan, disertai lirikan sekejap yang berakhir dengan menundukkan kepala.

“Ohhh… nggak apa-apa menangis, kan memang sakit kena paku. Apalagi kemudian disuntik. Itu dilakukan supaya tidak terjadi infeksi. Kalau bu ela jadi kamu pasti juga menangis. Semoga lekas sembuh ya. Bisa lari-lari lagi”. Tampak senyum simpul tersungging di wajahnya.

Jangan dibayangkan perbincangan ini berlangsung mulus dengan anak yang duduk manis dan tenang. Badannya selalu bergerak. Mengubah posisi duduk, mengangkat kaki, sesekali berdiri. Tangannya sibuk mengelus-elus kakiyang yang diperban. Matanya pun tak bertahan lama untuk menatap kedepan, melihat orang yang sedang mengajaknya bicara. Ini sedang dalam kondisi kakinya sakit. Bayangkan saat kedua kakinya lincah bergerak. Anteng kitiran tenan J

Namun, di pertemuan ke tujuh ini, ia terlihat nyaman. Ia pun bersedia melakukan apa yang saya tugaskan. Sebelumnya ia selalu berusaha mengalihkan perhatian dengan bertanya atau menyampaikan berbagai alasan. Duuh, capek aku. Mataku sakit eh. Kayak apa ini? Malesnya… dan sebagainya. Aku pun tak akan melanjutkan aktivitas, karena sekedar ingin melihat respon dan kemampuannya. Misiku adalah masuk ke dalam dunianya. Karena ia anak yang sempat terluka batinnya. Kuijinkan anak itu melepaskan terlebih dahulu emosi-emosi negatifnya.

Selanjutnya ia pun akan bercerita berbagai adegan-adegan yang heroik. Tema binatang adalah favoritnya. Disertai gerakan badan, tangan, dan mimik muka yang mendukung cerita. Ia sangat imajinatif. Kadangkala aku pun tak habis pikir dengan lompatan ide dan pikiran kartunnya. Pikiran kartun?? Iya, seperti halnya film kartun, skenarionya kan terserah gimana yang bikin cerita. Meskipun seringkali nggak masuk akal. Bagi saya. Belum tentu bagi yang lainnya, termasuk anda. Hahahaha….

Aku hanya mendengarkan. Sesekali bertanya. Menimpali, juga meminta penjelasan. Ia pun akan bersemangat menjelaskan dengan penuh keyakinan. Ada kalanya ia tak berminat untuk menerangkannya. Ia hanya butuh didengarkan. Diterima dan dihargai. Apa adanya.

Jangan berpikir ia bercerita dengan alur yang runtut dan pengucapan kalimat yang jelas. Kadang ia hanya tampak seperti bicara pada diri sendiri. Bergumam. Kecepatan bicaranya pun kadang membuatku sulit menangkap apa yang diucapkan. Bisa dibayangkan? Saya berasa mendengarkan suara penyiar radio yang tidak pas posisi frekuensinya.

Dibandingkan dengan anak seusianya, kemampuan yang berkaitan dengan akademis memang belum mumpuni. Ia sering salah membaca kata. Mudah melompati kata dalam kalimat yang dibaca. Menyusun puzzle sederhana juga cukup membutuhkan waktu untuk menyelesaikannya. Menulis baginya suatu hal yang menyebalkan. Butuh perjuangan. Ya, koordinasi visual-motoriknya belum matang. Ia memiliki indikasi gejala disleksia.

------

Ia bermasalah dengan sekolah sebelumnya. Ia dinilai tak mampu mengikuti pelajaran. Perlakuan yang mengancam bahkan menyakiti fisiknya pernah didapatkan. Anak yang tenang berubah menjadi siswa yang garang. Anak yang penurut dan penakut berubah menjadi siswa yang melawan dan senang menantang. Hatinya terluka, hingga membuatnya memilih sakit daripada masuk ke sekolah. Pernah pula ia meminta pinjam kepala ayahnya untuk dipakai ke sekolah. Karena ia merasa bodoh dan tak berdaya. Miris aku mendengarnya.

Awal-awal pertemuan, cukup banyak kata-kata bernada kekerasan keluar dari mulutnya. Tatapan matanya pun tidak bersahabat. Tak sesuai dengan usianya yang masih 8 tahun. Surut keceriaan khas anak-anak. Sedih sekali rasanya.

Gurunya tak mampu memahaminya. Lebih tepatnya tidak bersedia berusaha untuk mengenali karakteristiknya. Fokusnya hanya ia harus memenuhi nilai standar akademisnya. Ggggggrrrrh….. Sekolah pun tak memiliki kebijakan yang memihak tumbuh-kembang anak dengan keunikannya. Aku sampai merasa geram tingkat dewa. Tapi, apalah daya. Aku tak ada kuasa untuk mengubahnya.

Akhirnya, orang tuanya pun memutuskan untuk memindahkan sekolah, setelah melakukan konseling di awal pertemuan. Tentunya setelah memikirkan sejumlah pertimbangan dan survey sejumlah sekolah pilihan.

-------

Pada pertemuan kali ini ia mau melakukan beberapa latihan. Baru untuk pemanasan. Pengenalan melakukan suatu gerakan untuk meningkatkan koordinasi visual-motoriknya. Ia pun berinisiatif menyelesaikan sejumlah aktivitas yang memerlukan konsentrasi dan perhatian. Suatu perkembangan positif, meskipun durasinya masih cukup pendek.

Wajahnya pun sudah lebih rileks. Sudah jarang terdengar kata-kata horor dari mulutnya. Ia terlihat lebih senang. Ia pun tak ragu untuk tertawa saat ada hal yang dirasa menggelikan.

Perjalanan masih panjang. Bagaimana mengembalikan dan menguatkan harga dirinya. Menumbuhkembangkan kepercayaan diri. Memperbaiki kesan negatif tentang sekolah dan aktivitas belajar. Selanjutnya melatih untuk melakukan aktivitas membaca dengan baik.

Bukan tanpa alasan aku dipertemukan dengan Bima. Pasti Tuhan sudah menghendaki. Tentu saja Bima bukan nama anak sebenarnya. Kehadirannya memberikan warna tersendiri dalam episode hidupku saat ini. Keterlibatan orang tuanya dalam setiap proses terapi dan penanganan pada putranya pun memberikan inspirasi. Keterbukaan dan kesediaan orang tua untuk turut belajar dan mau mendengar “suara” anaknya sangatlah berarti. Semoga satu langkah terestui untuk menyelamatkan satu anak negeri. 

Bontang, 25 Januari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar