Kemandirian,
Dasar Perlindungan Terhadap Anak
Oleh:
Laela Siddiqah, M.Psi, Psikolog
(Psikolog Lembaga Psikologi Insan Cita
Bontang, Kalimantan Timur)
Baru-baru ini kita
memperingati Hari Anak Nasional yang puncaknya dirayakan di kota Makasar,
Sulawesi Selatan pada tanggal 23 Juli 2019. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI, Yohana Susana Yembise, turut hadir sekaligus menyerahkan anugerah Kabupaten/Kota
Layak Anak tahun 2019. Kota Bontang, kota dimasa saya tinggal, menjadi salah
satu kota yang mendapat penghargaan Kota Layak Anak (KLA) kategori Madya. Tahun-tahun
sebelumnya, kota Bontang sudah tiga kali meraih anugerah KLA kategori Pratama.
Secara nasional, pemerintah
mengusung tema “Peran Keluarga Dalam Perlindungan Anak”. Sudah barang tentu ada
hal serius yang melatarbelakangi mengapa perlindungan menjadi aspek yang
ditekankan. Masih banyaknya kasus yang mengindikasikan lemahnya perlindungan
keluarga terhadap anak, mulai dari perlakuan pengabaian, penelantaran,
kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikologis, atau kekerasan seksual, hingga
merebaknya kasus perdagangan anak.
Kasus terkini yang
tengah saya dampingi menjadi salah satu gambaran kurangnya atau bahkan nihilnya
perlindungan keluarga, terutama orang tua, kepada anak-anaknya. Bagaimana
seorang ayah tega menyetubuhi anak perempuan tirinya dan menjadikannya pemuas
nafsu birahi selama 4 tahun. Perlakuannya pun syarat dengan ancaman dan
kekerasan fisik yang melukai gadis malang itu. Anak itu menjadi pribadi yang
pendiam, tidak percaya diri, pencemas, dan sulit berkonsentrasi.
Dalam kasus yang
berbeda, ada nasib anak-anak yang tergadaikan karena perlakuan kekerasan dari
seorang ayah kepada keluarganya. Sejak kecil mereka menerima pukulan dan
perlakuan kasar, juga kata-kata yang penuh hinaan, merendahkan, serba
menyalahkan. Bahkan diperlakukan seakan-akan bukan anak manusia, seperti dimasukkan
ke dalam bak air hingga nafas hampir terhenti. Di usianya yang beranjak remaja,
ia memberontak, melawan, dan pergi meninggalkan rumah. Pergaulannya menyeret si
belia merasakan minum minuman keras, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, hingga
“menjual diri” untuk mendapatkan rupiah. Sungguh mengenaskan!
Menjadi tugas yang berat
dan tidak sederhana bagi kita semua, terutama pemerintah, untuk benar-benar mewujudkan
Indonesia Layak Anak – IDOLA – 2030. Namun, apakah hal itu suatu kemustahilan?
Saya pikir tidak, jika kita semua mau bergerak untuk mulai melakukan hal-hal
yang sederhana dan dari yang terdekat.
Awali
dari Keluarga
Melindungi anak
merupakan salah satu peran dan fungsi keluarga. Dua insan yang mengikat janji dalam
perkawinan yang suci, menjadi suami dan istri, adalah awal terbentuknya sebuah
keluarga. Hadirnya sang buah hati menjadi penambah kebahagiaan yang menuntut
keduanya berperan sebagai orang tua. Sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban
bagi orang tua untuk dapat mengasuh anak dengan baik, sehingga tumbuh
kembangnya optimal. Pemahaman dan kesadaran setiap orang tua sangat dibutuhkan
bahwa dalam mengasuh anak ada proses mendidik dan memotivasi. Orang tua menjadi
teladan dan mengajarkan tuntunan sesuai nilai, keyakinan, dan kepercayaannya.
Orang tua pun harus memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan anak dengan
penuh cinta dan kasih sayang.
Memberikan perlindungan
kepada anak bukan sebatas memberikan naungan fisik agar anak tidak terpapar
panasnya matahari atau dinginnya angin malam. Bukan sekadar anak tidak terguyur
hujan atau terbebas dari kelaparan. Kalau hanya itu, induk ayam pun mampu kan ya? Perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demikian disebutkan dalam
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Latih
Kemandirian Anak
Salah satu cara orang
tua melindungi anaknya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi pribadi
yang mandiri. Kemandirian anak tidak terbentuk secara tiba-tiba atau muncul
dengan sendirinya setelah anak menuntaskan pendidikan dasar, menengah, atau
tingginya. Kemandirian terbangun melalui pembiasaan dan latihan terus-menerus
sepanjang usianya. Dimulai sedini mungkin, sejak anak mampu mengenali dirinya
sendiri dan lingkungannya. Ya, sedini mungkin.
“Apa
tidak terlalu kecil anak dituntut untuk mandiri, kan kasihan?”
tanya seorang ibu kepada saya, dengan dahi yang mengernyit tampak heran dan
bingung. Perlu saya garis bawahi kembali, bahwa mencetak anak mandiri itu
melalui proses pembiasaan dan l a t i h a n sepanjang usia, dimulai
dari anak usia dini. Artinya, anak tidak langsung dituntut untuk mandiri dalam
segala hal, tetapi dilatih dan dibiasakan untuk melakukan tugas-tugas mulai dari
hal sederhana sejak anak itu masih kecil. Tentu saja, tugas dan aktivitas yang
dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak di usianya. Masak iya anak 3 tahun sudah harus ceplok telur
sendiri??
Misalnya, anak usia 2
tahun sudah waktunya belajar dan bisa makan-minum sendiri. Orang tua perlu
melatih dan memberi kesempatan anak untuk melatih ketrampilan makannya. Meskipun
awalnya belum sempurna dan masih berantakan, namun semakin sering ia melakukan,
anak akan memiliki kemampuan yang mumpuni untuk makan dan minum secara mandiri.
Demikian juga dalam ketrampilan lainnya, seperti memakai baju, memakai sepatu, dan
menjaga kebersihan diri.

Selain itu, anak pun perlu dilatih untuk dapat mengatasi kesulitannya sendiri. Sebagai orang tua, seringkali kita mudah merasa kasihan, tidak tega, dan selalu ingin membantu anak kita. Terdorong oleh perasaan tersebut, orang tua seringkali menjadi “malaikat penolong” bagi anaknya bahkan disaat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Adakalanya anak perlu diberi ruang, kepercayaan, dan kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini akan mengasah kemampuan berpikir anak, merangsang kreativitas, dan kemampuannya untuk membuat keputusan. Kita sebagai orang tua hanya perlu memonitor, memberi dukungan, dan memberikan arahan jika diperlukan. Saat anak mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, maka ada rasa kebanggaan tersendiri yang dapat menguatkan keyakinan dirinya akan kemampuan yang dimiliki.
Pencapaian ketrampilan
dasar hidup di usia dini menjadi pondasi yang sangat penting pada pembentukan
konsep diri dan karakter pribadi anak. Karakter yang terus terbawa hingga kelak
menjadi dewasa. Anak yang dilatih untuk mandiri menunjukkan kepercayaan diri
yang lebih tinggi dibanding anak yang selalu dilayani kebutuhannya. Anak yang
terlatih kemandiriannya tumbuh menjadi pribadi yang lebih peduli dan mampu
menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Anak yang mandiri lebih mudah bergembira
dan merasa bahagia. Anak yang mandiri pun akan lebih mampu melindungi dirinya
saat ada hal yang dapat menyakiti atau mengancam keselamatannya. Ia tahu apa
yang perlu dilakukan dan mampu melindungi wilayah pribadinya.
Anak merupakan karunia
terindah dari Sang Pencipta. Menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua untuk
memberikan bekal bagi setiap anaknya untuk menjadi manusia yang berkarakter kuat
dan mulia. Pertanggungjawaban tidak sebatas pada ukuran dunia, namun hingga ke
alam baka. Asah kemandirian anak untuk perlindungan sebatas hayat. Sebagaimana
yang telah Allah SWT firmankan dalam QS An-Nisa’ ayat 9 yang artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar”.
Menjadi orang tua bukanlah profesi sesaat.
Menjadi orang tua adalah amanah yang berbalas pahala berlipat saat kita dapat
melakoninya dengan baik dan benar. Rasa bahagia pun menjadi imbalan tak terkira
kala anak-anak menunjukkan kebisaannya. Bersama kita jaga dan lindungi
anak-anak tercinta menjadi anak Indonesia yang sehat, mandiri, dan gembira. Kita
gaungkan tagline Hari Anak Nasional 2019, “Kita Anak Indonesia, Kita Gembira!”.
Bontang, 30 Juli 2019
#MentoringMenulis
#PsikologMenulis